Uncategorized

Mimpi buruk anak penambang timah di Bangka Belitung

Mimpi buruk anak penambang timah di Bangka Belitung

SUBUH ITU ADIT, anak sulung Sumarto berumur 15 tahun, pergi melimbang bersama teman-teman sebayanya. Tujuan mereka ke areal tambang timah PT Putra Tongga Samudra di belakang rumah. Bermodal cangkul dan ember, Adit mencangkul timbunan pasir untuk mencari sisa-sisa bijih timah. Ia tak sadar pasir sicbo online uang asli dan batuan di atasnya longsor. Tubuhnya tertimbun hingga kedalaman lima meter.

Sumarto, yang masih terlelap saat anaknya pergi, terbangun pada pagi hari mendengar suara kencang ketukan pintu. Ia segera membuka pintu rumah. Matanya tertuju jasad tak bernyawa anaknya. Terguncang dan pingsan, bapak 38 tahun itu tak ingat lagi kejadian setelahnya.

“Saya sudah nggak tengok tambang itu sejak kejadian. Trauma,” katanya mengenang peristiwa Juni 2020.

Keluarga Sumarto tinggal di Gudem Utara, Kecamatan Pemali, Kabupaten Bangka. Areal tambang timah itu kawasan terbuka. Siapa pun bebas memasuki areal tambang dan melimbang, kecuali saat ada patroli.

Melimbang adalah sebutan populer warga Kepulauan Bangka Belitung atau Babel untuk kegiatan mencari sisa bijih timah dari limbah maupun timbunan limbah industri (tailing) galian timah. Hasil melimbang itu dikumpulkan ke dalam ember kemudian diserahkan ke pengepul.

Jumlah pelimbang akan naik pesat saat harga timah meroket. Sewaktu kejadian menimpa anak sekolah seperti Adit, harga timah mencapai Rp200 ribu/kg.

Nyaris semua warga di sekitar tambang timah, termasuk perempuan dan anak-anak, terserap ke dalam pekerjaan mencukupi kebutuhan harian yang berbahaya ini.

Pada satu sore berhujan, akhir Desember 2022, kegiatan melimbang terlihat di Dusun Kedimpal, Desa Baskara Bakti, sekitar satu jam perjalanan darat dari Pemali. Ada 50-an pelimbang. Ada yang memilih berteduh di pondok, ada juga yang tetap bekerja dengan membungkus badan dengan jas hujan.

Para pelimbang berjongkok di dekat sakan, sebutan warga setempat untuk alat pencucian timah bak menara kolam yang tersusun dari kayu. Menggunakan piring, pengeruk, dan ember, para pelimbang menyerok bijih-bijih timah dari limbah yang hanyut dari sakan, menggoyangkan-goyangkan piring untuk menyaring ampas bijih timah, sementara kaki mereka terendam limbah pasir timah selama berjam-jam.

Datang dari berbagai daerah, para pelimbang itu mengumpulkan setidaknya 1-3 kg bijih timah yang saat itu dihargai Rp100 ribu/kg.

“Jampang!” Seorang ibu berseru dari dekat sakan. Suaranya nyaris teredam deru air sakan.

Mimpi buruk anak penambang timah

Dari kejauhan, bocah berumur 11 tahun itu bersama beberapa anak seumuran berlarian di dekat eskavator yang melintas. Ibu Jampang terlihat panik.

Tidak jauh dari sakan, Rian duduk di tumpukkan tailing pasir timah, mengawasi neneknya yang melimbang. Tenaga bocah berumur 11 tahun itu akan dibutuhkan sewaktu-waktu neneknya untuk mengangkat ember-ember hasil limbangan timah. Tumpukkan tailing tempat Rian duduk cukup tinggi, yang bisa longsor kapan saja. Tailing itu harus sesekali dipindah dengan eskavator agar tidak menumpuk di dekat sakan dan menghalangi aliran air. Hari itu pencucian timah di sakan selesai lebih awal dari biasanya karena hujan.

Rian baru kelas 5 sekolah dasar, tapi setiap hari sepulang pengajian, ia pergi ke areal tambang timah yang hanya berjarak 300 meter dari rumah, membantu neneknya hingga sore atau bahkan malam. Waktu belajarnya hanya tersisa malam hari. Besoknya, Rian harus bangun pukul 5 pagi dan berangkat sekolah sekitar pukul 6. Tak heran saat jam istirahat, Rian sering mengantuk dan ketiduran di kelas.

Sakan yang dikerubungi para pelimbang itu milik CV Dirgantara Sejahtera, salah satu mitra PT Timah, yang beroperasi sejak 17 November 2022. Perseroan mengeruk timah di area eks pertambangan yang sudah direklamasi di pesisir Pantai Kedimpal, beberapa meter dari Kampung Pasir. Perkampungan tersebut dihuni banyak keluarga muda bersama anak-anak mereka yang mayoritas masih usia sekolah dasar, termasuk Rian.

Sebelum ditempati warga pada 2009, Kampung Pasir merupakan hutan akasia yang tumbuh di atas pasir reklamasi bekas penambangan PT Timah. Hingga sekarang, area kampung masih wilayah izin usaha pertambangan PT Timah.

Sekitar tahun 2010, aparatur desa menyediakan tanah di Kampung Pasir untuk keluarga muda yang sudah lama menetap di Dusun Kedimpal dan belum memiliki rumah. Per Januari 2023, sedikitnya ada 54 keluarga bermukim di sana.

Karena status masih areal konsesi pertambangan, warga Kampung Pasir berulang kali mengajukan dokumen kepemilikan tanah atau bangunan. Barulah pada 2022 lewat program Badan Pertanahan Nasional, warga Kampung Pasir bisa mengurus sertifikat hak milik dan melegalkan rumah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *